Beranda | Artikel
50 Faidah dari Kisah Luqmân Al-Hakim(1)
Minggu, 25 Desember 2022

50 FAIDAH DARI KISAH LUQMAN AL-HAKIM[1]

Oleh
Prof. Dr. ‘Abdurrazzaaq bin ‘Abdil-Muhsin Al-‘Abbaad

Sesungguhnya wasiat-wasiat yang terdapat dalam kisah Luqmân mengandung faidah-faidah yang agung, nasehat-nasehat luhur, penuh berkah; Mengandung manhaj (metode) yang benar dalam berdakwah (ad-da’wah Ilallâh), dalam mendidik anak-anak dan membina generasi kaum Muslimin. Dalam kisah tersebut ada penjelasan tentang sarana-sarana dan cara-cara jitu dalam berdakwah dan mengajarkan kebaikan.

Oleh karena itu, para pendidik, orang tua dan guru seharusnya memperhatikan wasiat-wasiat tersebut satu persatu dan menjadikannya panduan dalam berdakwah dan mengajar.

Ini semua menuntut kita untuk bisa men-tadabbur-i, memahami dan mempelajari wasiat-wasiat Luqmân[2] yang Allâh sebutkan dalam kitab-Nya, yaitu al-Qur’an al-Karim, Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَقَدْ اٰتَيْنَا لُقْمٰنَ الْحِكْمَةَ اَنِ اشْكُرْ لِلّٰهِ ۗوَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ ١٢ وَاِذْ قَالَ لُقْمٰنُ لِابْنِهٖ وَهُوَ يَعِظُهٗ يٰبُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللّٰهِ ۗاِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ ١٣ وَوَصَّيْنَا الْاِنْسَانَ بِوَالِدَيْهِۚ حَمَلَتْهُ اُمُّهٗ وَهْنًا عَلٰى وَهْنٍ وَّفِصَالُهٗ فِيْ عَامَيْنِ اَنِ اشْكُرْ لِيْ وَلِوَالِدَيْكَۗ اِلَيَّ الْمَصِيْرُ١٤ وَاِنْ جَاهَدٰكَ عَلٰٓى اَنْ تُشْرِكَ بِيْ مَا لَيْسَ لَكَ بِهٖ عِلْمٌ فَلَا تُطِعْهُمَا وَصَاحِبْهُمَا فِى الدُّنْيَا مَعْرُوْفًا ۖوَّاتَّبِعْ سَبِيْلَ مَنْ اَنَابَ اِلَيَّۚ ثُمَّ اِلَيَّ مَرْجِعُكُمْ فَاُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ تَعْمَلُوْنَ ١٥يٰبُنَيَّ اِنَّهَآ اِنْ تَكُ مِثْقَالَ حَبَّةٍ مِّنْ خَرْدَلٍ فَتَكُنْ فِيْ صَخْرَةٍ اَوْ فِى السَّمٰوٰتِ اَوْ فِى الْاَرْضِ يَأْتِ بِهَا اللّٰهُ ۗاِنَّ اللّٰهَ لَطِيْفٌ خَبِيْرٌ ١٦يٰبُنَيَّ اَقِمِ الصَّلٰوةَ وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوْفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَاصْبِرْ عَلٰى مَآ اَصَابَكَۗ اِنَّ ذٰلِكَ مِنْ عَزْمِ الْاُمُوْرِ ١٧وَلَا تُصَعِّرْ خَدَّكَ لِلنَّاسِ وَلَا تَمْشِ فِى الْاَرْضِ مَرَحًاۗ اِنَّ اللّٰهَ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُوْرٍۚ ١٨وَاقْصِدْ فِيْ مَشْيِكَ وَاغْضُضْ مِنْ صَوْتِكَۗ اِنَّ اَنْكَرَ الْاَصْوَاتِ لَصَوْتُ الْحَمِيْرِ١٩

  1. Dan sesungguhnya Kami telah memberikan hikmah kepada Luqmân, yaitu, ‘Bersyukurlah kepada Allâh ! Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allâh ), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allâh Maha Kaya lagi Maha Terpuji.
  2. Dan (Ingatlah) ketika Luqmân berkata kepada anaknya, di waktu dia memberi pelajaran kepadanya, “Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allâh ! Sesungguhnya mempersekutukan (Allâh) adalah benar-benar kezhaliman yang besar.
  3. Dan kami perintahkan kepada manusia (untuk berbuat baik) kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang bertambah-tambah dan menyapihnya dalam dua tahun, (Oleh karena itu) bersyukurlah kepada-Ku dan kepada kedua orang tuamu, hanya kepada-Ku kamu kembali.
  4. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka janganlah kamu mengikuti keduanya! Dan pergaulilah keduanya di dunia dengan baik! Dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku! Kemudian hanya kepada-Ku-lah tempat kembali kalian, maka kuberitakan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan.
  5. (Luqmân berkata), “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allâh akan mendatangkannya (membalasnya). Sesungguhnya Allâh Maha Halus lagi Maha Mengetahui.
  6. Hai anakku! Dirikanlah shalat ! Suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik ! Cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar ! Dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allâh ).
  7. Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) ! Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh ! Sesungguhnya Allâh tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.
  8. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu ! Sesungguhnya seburuk-buruk suara adalah suara keledai. [Luqmân/31:12-19]

Pembahasan tentang ayat-ayat yang penuh berkah ini yaitu dengan menyebutkan sejumlah faidah yang tersimpulkan dari ayat-ayat yang mulia tersebut. Dalam waktu singkat, saya telah berhasil mengumpulkan 50 faidah. Saya sangat mengharapkan semoga Allâh Azza wa Jalla memberikan manfaat kepada kita dari faidah-faidah tersebut dan memberikan taufik-Nya kepada kita untuk dapat benar-benar mengambil faidah dari wasiat-wasiat yang penuh hikmah dan berkah ini.

Faidah Pertama :
Sesungguhnya hikmah itu adalah pemberian dan anugerah dari Rabb yang Allâh Azza wa Jalla berikan kepada para hamba yang dikehendaki-Nya. Ini terfahami dari firman-Nya Azza wa Jalla :

وَلَقَدْ اٰتَيْنَا لُقْمٰنَ الْحِكْمَةَ

Dan sesungguhnya Kami telah memberikan hikmah kepada Luqmân

Jadi, hikmah itu adalah karunia Allâh yang diberikan kepada para hamba yang dikehendaki-Nya saja, sebagaimana firman Allâh Azza wa Jalla :

يُّؤْتِى الْحِكْمَةَ مَنْ يَّشَاۤءُ ۚ وَمَنْ يُّؤْتَ الْحِكْمَةَ فَقَدْ اُوْتِيَ خَيْرًا كَثِيْرًا

Allâh menganugerahkan hikmah kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Dan barangsiapa dianugerahi hikmah, maka dia benar-benar telah dianugerahi karunia yang banyak. [al-Baqarah/2:269]

Oleh karena itu, barangsiapa ingin diberi taufîq untuk mendapatkan al-hikmah itu dan ingin diberikan kebaikan, maka hendaklah dia memintanya kepada Allâh Azza wa Jalla . Karena semua kebaikan dan keutamaan berada di tangan Allâh Azza wa Jalla . Dia Subhanahu wa Ta’ala memberikannya kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya

Kebaikan itu tidak akan didapatkan kecuali dengan bersikap jujur kepada Allâh Azza wa Jalla , menghadap kepada-Nya dengan baik, mengerjakan ketaatan kepada-Nya dan memohon taufîq kepada-Nya dan bersandar kepada-Nya dalam usahanya untuk mendapatkan kebaikan tersebut. Sesungguhnya hidayah dan taufiiq tersebut berada di tangan-Nya dan tidak ada serikat bagi-Nya.

Faidah Kedua :
Sesungguhnya untuk bisa mendapatkan al-hikmah, ada sebab-sebab yang harus dilakukan oleh seorang hamba. Barangsiapa memperhatikan kisah Luqmân dan kehidupannya, niscaya dia akan dapati bahwa Luqmân itu seorang hamba yang shaleh. Dia beribadah kepada Allâh Azza wa Jalla , taat kepada-Nya dan memiliki hubungan yang baik dengan Rabb-nya.

Disebutkan dalam biografinya, sebagaimana disebutkan oleh al-hâfidzh Ibnu Katsîr rahimahullah dan para Ulama lainnya[3], bahwa dia adalah orang yang rajin beribadah, taat kepada Allâh dan jujur. Dia sedikit berbicara, banyak berpikir dan bertadabbur. Dia mengambil faidah dari majlis-majlis kebaikan dan dia menganjurkan (orang lain) untuk mengambil faidah dari majlis-majlis kebaikan tersebut. Dia sering meminta pendapat ahli ilmu dan mengambil faidah dari mereka.

Yang terpenting adalah pengorbanan seorang hamba untuk mengerjakan sebab-sebab yang bisa mendekatkan diri kepada Allâh Azza wa Jalla bisa menjadi sarana untuk meraih kebaikan dan keberuntungan serta akan mendatangkan hikmah. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :

احْرِصْ عَلَى مَا يَنْفَعُكَ وَاسْتَعِنْ بِاللَّهِ

Bersemangatlah untuk mengerjakan yang bermanfaat untukmu dan mintalah pertolongan kepada Allâh[4]

Dan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :

إِنَّمَا الْعِلْمُ بِالتَّعَلُّمِ، وَالْحِلْمُ بِالتَّحَلُّمِ، ومَنْ يَتَحَرَّ الْخَيْرَ يُعْطَهُ، وَمَنْ يَتَوَقَّ الشَّرَّ يُوْقَهُ

Sesungguhnya (untuk mendapatkan) ilmu harus dengan belajar dan (untuk mendapatkan) kesabaran harus dengan melatihnya. Barangsiapa berusaha mendapatkan kebaikan, maka akan diberikan kepadanya. Barangsiapa berusaha mengindari keburukan, maka akan dijauhkan darinya. [5]

Oleh karena itu, seorang hamba harus mengerjakan sebab untuk mraih al-hikmah dan tidak hanya berkata, “Ya Allâh ! Berikanlah kepadaku hikmah!” atau berkata, “Ya Allâh ! Sesungguhnya saya memohon kepada-Mu ilmu yang bermanfaat dan amalan yang shaleh” tanpa mengerjakan sebab-sebab (untuk memperolehnya). Allâh Azza wa Jalla berfirman :

فَاعْبُدْهُ وَتَوَكَّلْ عَلَيْهِۗ

Maka ibadahilah Dia dan bertawakkallâh kepada-Nya [Hûd/11:123]

Dan firman-Nya, yang artinya, “Hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami memohon pertolongan.” [al-Fatihah/1:5]

Faidah Ketiga :
Pentingnya mensyukuri nikmat Allâh Azza wa Jalla dan besarnya pengaruh syukur terhadap kelanggengan dan perkembangan suatu kenikmatan. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَلَقَدْ اٰتَيْنَا لُقْمٰنَ الْحِكْمَةَ اَنِ اشْكُرْ لِلّٰهِ

Dan sesungguhnya Kami telah memberikan al-hikmah kepada Luqmân, yaitu: “Bersyukurlah kepada Allâh”

Sebuah kenikmatan jika disyukuri maka dia akan langgeng, apabila tidak disyukuri maka dia akan lenyap. Oleh karena itu, sebagian Ulama menamai syukur dengan al-hâfidzh (penjaga) dan al-jâlib (pencari/penarik), karena syukur dapat menjaga kenikmatan yang ada dan mencari kenikmatan yang hilang. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ

Dan (ingatlah juga), tatkala Rabb-mu memaklumkan, ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Aku akan menambah (nikmat) kepadamu’ [Ibrahim/14:7]

Pada ayat di atas Allâh berfirman, (أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ) “Bersyukurlah kepada Allâh !” maksudnya adalah bersyukur atas kenikmatan, pemberian dan kedermawanan-Nya kepadamu. Diantara bentuk kedermawaan Allâh Azza wa Jalla kepada hamba-Nya yang shaleh ini (Luqman) adalah dengan memberikan kepadanya al-hikmah dan memberinya taufîq untuk mendapatkan ilmu yang bermanfaat dan amal yang shaleh. Ayat itu juga menunjukkan bahwa seorang hamba yang diberi taufîq untuk mendapatkan ilmu, bisa beramal dan menjalankan kebaikan, dia wajib selalu dan selamanya bersyukur kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Dia wajib mengakui dan menyadari kenikmatan, keutamaan, hidayah (petunjuk) dan taufîq Allâh yang telah diberikan kepadanya.

Faidah Keempat
Sesungguhnya mensyukuri nikmat dilakukan dengan hati, lisan dan perbuatan kita. Ketiganya digabungkan dalam Firman Allâh Azza wa Jalla : (أَنِ اشْكُرْ لِلَّهِ) “Bersyukurlah kepada Allâh !”

Barangsiapa diberikan hikmah, ilmu yang bermanfaat dan amalan yang shaleh, maka cara bersyukur dengan hatinya yaitu dengan mengakui kenikmatan al-Mun’im (Yang Maha Pemberi Kenikmatan); kemudian dengan lisannya, dia menyanjung, memuji dan bersyukur kepada Allâh; Lalu bersyukur dengan perbuatannya yaitu dengan mentaati-Nya.

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

اِعْمَلُوْٓا اٰلَ دَاوٗدَ شُكْرًا

Beramallâh Hai keluarga Dawud untuk bersyukur (kepada Allâh ). [Saba’/34:13]

Oleh karena itu, seorang hamba harus mengerjakan amalan-amalan shaleh, bersemangat untuk mengerjakan ketaatan dan menggunakan kenikmatan tersebut pada jalan yang sesuai dengan apa yang diperintahkan oleh Allâh Azza wa Jalla .

Faidah Kelima :
Sesungguhnya, perbuatan syukur yang dilakukan oleh orang-orang yang bersyukur kepada Allâh tidak bisa memberikan manfaat kepada Allah Azza wa Jalla , begitu pula perbuatan kufur orang-orang yang kafir tidak bisa me-mudharat-kan (membahayakan) Allâh . Sebagaimana yang telah difirmankan oleh Allâh Azza wa Jalla :

وَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ 

Dan barangsiapa bersyukur (kepada Allâh ), maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allâh Maha Kaya lagi Maha Terpuji. [Luqmân/31: 12]

Jadi, perbuatan syukur orang yang bersyukur tidak dapat memberikan manfaat kepada Allâh, perbuatan kufur orang yang kafir tidak dapat membahayakan-Nya, perbuatan taat orang yang taat tidak bisa memberikan manfaat kepada Allâh , perbuatan dosa yang dilakukan oleh orang yang bermaksiat tidak bisa membahayakan-Nya. Perhatikan firman Allâh pada hadits qudsi yang diriwayatkan oleh Abu Dzar Radhiyallahu anhu dalam Shahîh Muslim[6] :

يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِى مُلْكِى شَيْئًا يَا عِبَادِى لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَجِنَّكُمْ كَانُوا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِى شَيْئًا

Wahai hamba-hambaku! Seandainya orang-orang yang paling awal sampai yang paling akhir dari kalian, baik dari kalangan manusia maupun jin, semuanya menjadi seperti orang yang memiliki hati yang paling bertakwa di antara kalian, maka hal tersebut tidak dapat menambah kekuasaan-Ku sedikit pun. Wahai hamba-hambaku! Seandainya orang-orang yang paling awal sampai yang paling akhir dari kalian, baik dari kalangan manusia maupun jin, semuanya menjadi seperti orang yang memiliki hati yang paling berdosa di antara kalian, maka hal tersebut tidak dapat mengurangi kekuasaan-Ku sedikit pun

Oleh karena itu, ketaatan orang yang taat kepada Allâh Azza wa Jalla tidak dapat memberikan manfaat kepada Allâh dan perbuatan dosa orang yang berbuat maksiat tidak bisa membahayakan-Nya. Bahkan (Allâh Azza wa Jalla berfirman):

مَنِ اهْتَدٰى فَاِنَّمَا يَهْتَدِيْ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ ضَلَّ فَاِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَاۗ

Barangsiapa berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan barangsiapa sesat maka sesungguhnya dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. [al-Isrâ’/17:15]

Sedangkan Allâh Azza wa Jalla , Dia-lah al-Ghaniy (Yang Maha Kaya) dan al-Hamîd (Yang Maha Terpuji). Diantara dalil yang menyebutkan hal ini adalah :

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ اَنْتُمُ الْفُقَرَاۤءُ اِلَى اللّٰهِ ۚوَاللّٰهُ هُوَ الْغَنِيُّ الْحَمِيْدُ ١٥اِنْ يَّشَأْ يُذْهِبْكُمْ وَيَأْتِ بِخَلْقٍ جَدِيْدٍۚ

Hai manusia, kamulah yang butuh kepada Allâh ; dan Allâh, Dialah yang Maha Kaya (tidak memerlukan sesuatu) lagi Maha Terpuji. Jika dia menghendaki, niscaya dia memusnahkan kamu dan mendatangkan makhluk yang baru [Fîthir/35:15-16]

Faidah Keenam :
Sesungguhnya dampak dan manfaat perbuatan syukur yang dilakukan oleh seorang hamba terhadap nikmat Allâh Azza wa Jalla akan kembali kepada hamba itu sendiri. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

وَمَنْ يَّشْكُرْ فَاِنَّمَا يَشْكُرُ لِنَفْسِهٖۚ

Siapa yang bersyukur, maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri [Luqmân/31:12]

Apabila seorang hamba bersyukur, maka buah syukur tersebut akan kembali kepadanya, baik di dunia maupun di akhirat. Di dunia, nikmat yang telah diberikan akan langgeng dan juga akan mendatangkan nikmat lain, sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya. Di akhirat, dia akan mendapatkan pahala, ganjaran dan akhir yang baik.

Seorang hamba apabila dia bersyukur, maka syukurnya tersebut akan kembali kepada dan dia akan mendapatkan manfaat dengannya. Di antara dalil yang menunjukkan hal tersebut yaitu firman Allâh Azza wa Jalla:

مَنِ اهْتَدٰى فَاِنَّمَا يَهْتَدِيْ لِنَفْسِهٖۚ وَمَنْ ضَلَّ فَاِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَاۗ 

Barangsiapa berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), maka sesungguhnya dia berbuat itu untuk dirinya sendiri. Dan barangsiapa sesat maka sesungguhnya dia tersesat untuk dirinya sendiri. [al-Isrâ’/17:15]

Sebaliknya, apabila seorang hamba tidak mensyukuri nikmat Allah – wal ‘iyâdzu billâh – maka perbuatannya itu akan mendatangkan penderitaan, kerugian dan penyesalan di dunia dan akhirat. Ini harus menjadi perhatian seorang hamba, karena dia perlu bersyukur kepada Allâh Azza wa Jalla sementara Allâh Azza wa Jalla Maha Kaya (tidak butuh) syukur hamba tersebut.

Faidah Ketujuh
Kita beriman kepada kesempurnaan kekayaan Allâh dari segala sisi dan butuhnya para hamba-Nya kepada-Nya dari segala sisi.

وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ

Dan barangsiapa tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allâh Maha Kaya lagi Maha Terpuji [Luqman/31:12]

Kita beriman bahwa Allâh itu Ghaniy (Maha Kaya). al-Ghaniy adalah salah satu di antara nama-nama Allâh yang terbagus (al-Asmâul-Husnâ). Nama tersebut mengandung sifat-Nya yang memiliki kekayaan dan Allâh Azza wa Jalla tidak membutuhkan hamba-hamba dan seluruh makhluk-Nya dari segala sisi, sementara para hamba dan seluruh makhluk-Nya sangat membutuhkan Allâh dari segala sisi.

Kita beriman bahwa Rabb kita al-Ghaniy (Yang Maha Kaya) bersemayam di atas ‘Arsy-Nya dan terpisah dengan makhluk-Nya sebagaimana Allâh beritahukan dalam kitab-Nya :

اَلرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوٰى

Ar-Rahman bersemayam di atas ‘Arsy. [Thâhâ/20:5]

ثُمَّ اسْتَوٰى عَلَى الْعَرْشِۗ

Kemudian Dia bersemayam di atas ‘Arsy.  [al-A’râf/7:54]

Pada waktu yang bersamaan, kita juga mengimani bahwa Allâh Azza wa Jalla tidak membutuhkan ‘Arsy-Nya dan seluruh makhluk di bawahnya, sebaliknya seluruh makhluk-makhluk tersebut, yaitu ‘Arsy dan apa-apa yang ada di bawahnya sangat membutuhkan Allâh Azza wa Jalla .

Allâh Azza wa Jalla berfirman :

اِنَّ اللّٰهَ يُمْسِكُ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ اَنْ تَزُوْلَا ەۚ وَلَىِٕنْ زَالَتَآ اِنْ اَمْسَكَهُمَا مِنْ اَحَدٍ مِّنْۢ بَعْدِهٖ ۗاِنَّهٗ كَانَ حَلِيْمًا غَفُوْرًا 

Sesungguhnya Allâh menahan langit dan bumi supaya tidak lenyap. Dan sungguh jika keduanya lenyap tidak ada seorang pun yang dapat menahan keduanya selain Allâh. Sesungguhnya dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun. [Fathir/35:41]

Allah-lah yang menahan ‘Arsy, menahan langit-langit dan menahan bumi. Seluruh makhluknya berdiri atas usaha-Nya Azza wa Jalla. Seluruhnya tidak bisa merasakan tidak butuh kepada Allâh meskipun hanya sekejap mata.

Faidah Kedelapan
Penetapan kesempurnaan sifat terpujinya Allâh Subhanahu wa Ta’ala . Bagi-Nya segala pujian atas pemberian-pemberian-Nya dan keagungan nama-nama dan sifat-sifat-Nya. Allâh Azza wa Jalla berfirman

وَمَنْ كَفَرَ فَاِنَّ اللّٰهَ غَنِيٌّ حَمِيْدٌ

Dan barangsiapa tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allâh Maha Kaya lagi Maha Terpuji [Luqman/31:12]

al-Hamîd adalah salah satu nama di antara nama-nama Allâh yang terindah. Nama tersebut menunjukkan pujian yang diberikan kepada Allâh Azza wa Jalla . Dia-lah yang memiliki pujian yang mutlak dan sempurna dalam keadaan apapun dan kapanpun.

Dia Azza wa Jalla dipuji karena nama-nama dan sifat-sifat yang dimiliki-Nya. Dia k dipuji karena kenikmatan-kenikmatan, karunia-karunia dan pemberian-pemberian-Nya. Dialah al-Hamîd (Yang Maha Terpuji) Azza wa Jalla yang memiliki semua pujian. Allâh Azza wa Jalla berfirman :

لَهُ الْحَمْدُ فِى الْاُوْلٰى وَالْاٰخِرَةِ

Bagi-Nyalah segala puji di dunia dan di akhirat. [al-Qashash/28:70]

Dia-lah yang memiliki pujian di awal maupun di akhir. Dia-lah k yang memiliki semua pujian baik yang tampak maupun yang tidak. Seluruh pujian adalah milik Allâh Azza wa Jalla . Seluruh kenikmatan berasal dari Allâh . Semua kenikmatan yang didapatkan oleh para hamba-Nya berasal dari Allâh dan Dia-lah yang memberikannya.

Sudah sepantasnya, seluruh pujian tersebut hanya dikhususkan untuk al-Mun’im (Yang Maha Pemberi Kenikmatan). Oleh karena itu, orang-orang yang sedang ber-talbiyah mengatakan dalam talbiyah-nya :

إِنَّ الْحَمْدَ وَالنِّعْمَةَ لَكَ وَالْمُلْكَ لاَ شَرِيْكَ لَكَ

Sesungguhnya segala pujian, kenikmatan dan kekuasaan adalah milik-Mu. Tidak ada sekutu bagi-Mu.

Faidah Kesembilan
(Pada ayat ini terdapat penjelasan tentang) kedudukan hikmah dan manfaatnya yang besar pada diri orang yang Allâh Azza wa Jalla berikan hikmah itu kepadanya. Ini sangat nampak pada konteks ayat yang penuh berkah ini. Di dalamnya ada pujian dan sanjungan Allâh terhadap Luqmân dengan sebab al-hikmah yang telah Allâh Subhanahu wa Ta’ala anugerahkan kepadanya.

Ini tentu dapat menjadikan seorang hamba (semakin) bersemangat untuk mengenal al-hikmah, seperti apakah al-hikmah itu ?  Dan juga mendorong orang bersemangat untuk memiliki sifat tersebut.

Di antara makna al-hikmah yang disebutkan (oleh para Ulama) adalah sebagai berikut :

  1. al-Hikmah adalah ilmu yang bermanfaat yang diiringi dengan amalan shaleh.
  2. al-Hikmah adalah meletakkan berbagai perkara sesuai pada tempatnya.
  3. al-Hikmah adalah ilmu, pemahaman, lurus dan (memiliki) cara pandang yang baik.

Dan masih ada makna-makna lain yang disebutkan oleh para Ulama.

Yang menjadi poin penting adalah al-hikmah tersebut memiliki kedudukan yang agung. Sudah sepantasnya setiap hamba bersungguh-sungguh dan berusaha untuk mendapatkannya, serta menempuh segala cara yang disyariatkan dan segala jalan untuk mendapatkannya dan mengantarkannya dengan cara-cara dan jalan-jalan tersebut kepada hikmah yang dimaksud.

[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 06/Tahun XVI/1433H/2012M. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196.Kontak Pemasaran 085290093792, 08121533647, 081575792961, Redaksi 08122589079]
_______
Footnote
[1]  Diterjemahkan dari buku beliau yang berjudul ‘Fawaaidu Mustanbathah min Qishshati Luqman Al-Hakiim’ oleh Abu Ahmad Said Yai. Di akhir buku ini beliau berkata, “Asal dari tulisan ini adalah sebuah ceramah yang saya sampaikan di Komplek Al-Haramain Asy-Syariifain, kota Haail, pada hari Rabu, tanggal 28 Muharram 1426 H. Ceramah ini kemudian diketik dari kaset dan saya lakukan sedikit pengeditan. Saya lebih memilih penulisannya tetap seperti ceramah tersebut. Hanya Allah-lah yang memberi taufiiq.
[2]  Dia adalah seorang hamba yang soleh dan bukan seorang nabi. Tidak ada dalil di dalam Al-Qur’an maupun As-Sunnah yang menunjukkan bahwa dia adalah seorang Nabi. Al-Imam Al-Baghawi mengatakan di dalam tafsirnya bahwa hal tersebut adalah kesepakatan (para ulama). Beliau berkata, “Para ulama telah sepakat bahwa dia adalah seorang yang hakiim (memiliki hikmah) dan bukan nabi. Kecuali ‘Ikrimah, beliau berkata, ‘Dia adalah seorang nabi.’ Akan tetapi, beliau menyendiri dalam pendapatnya tersebut.” (Ma’aalimut-Tanziil III/490)
[3] Lihat biografinya di ‘Al-Bidaayah wa An-Nihaayah (II/146-153).
[4] HR Muslim no. 2664.
[5] HR Al-Khathiib di ‘At-Tariikh’ (IX/127) dari hadiits Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu. Syaikh Al-Albani meng-hasan-kan sanadnya di dalam Ash-Shahiihah no. 342.
[6] No. 2577.


Artikel asli: https://almanhaj.or.id/69544-50-faidah-dari-kisah-luqman-al-hakim1.html